A. Makana Hijrah
1. Makna Secara Bahasa
Hijrah secara bahasa berarti “tarku” (meninggalkan). “Hijrah ila syai” berarti “intiqal ilaihi ‘an ghairi” (berpindah kepada sesuatu dari sesuatu)
2. Makna Secara Syar’i
A. Makna Umum
Para ulama mengemukakan makna hijrah secara syar’i dengan berbagai definisi.
a. Hijrah adalah perpindahan dari negeri kaum kafir atau kondisi peperangan ke negeri
muslim.
b. Hijrah berdasarkan makna Syar’i adalah perpindahan dari negeri orang zalim kenegeri
orang-orang adil dengan maksud untuk menyelamatkan agama.
c. Hijrah adalah Meninggalkan negeri yang diperangi (daarul harbi) menuju negeri Islam
(daarul Islam)
Firman Allah dalam Surat Al-Ankabut 26 :
Maka Luth membenarkan (kenabian)nya. dan berkatalah Ibrahim: "Sesungguhnya Aku akan berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku (kepadaku); Sesungguhnya dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
B. Makna Khusus
Yang dimaksud makana khusus hijrah secara syar’i adalah hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah saw bersama para sahabatnya semoga Allah meridhai mereka dari kota Mekah menuju Madinah.
Dilandasi oleh hadits dari Bukhari dari ibnu Abbas r.a sesungguhnya Nabi saw ketika futuh Mekah, yang artinya :
” Tidak ada hijrah setelah futuh Mekah akan tetapi hijrah dengan jihad dan niat. Apabila kalian dituntut untuk pergi, pergilah kalian”.
Ada juga hadits lain yang secara selintas terlintas bertentangan yaitu hadits dari Muawiyah Sesungguhnya nabi saw bersabda yang artinya :
”Hijrah tidak pernah terputus hingga terputusnya tobat. Dan tobat tidak akan terputus hingga matahari terbit dari barat”
Kedua hadits ini sangat mungkin untuk dipahami secara bersama tanpa ada pertentangan. Yang dimaksud dengan sabda Nabi saw ” Tidak ada hijrah setelah futuh Mekah” yaitu hijrah dari Mekah ke Madinah. Sementara yang dimaksud dengan sabdanya ”Hijrah tidak pernah terputus” yaitu hijrahnya kaum muslimin dari daarul kufr menuju daarul Islam untuk menyelamatkan agama mereka. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat an-nisa’ 100 :
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi Ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh Telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
C. Hijrah Menurut Istilah
Hijrah menurut istilah berarti ”tarku maa nahallaahu ’anhu” (meninggalkan sesuatu yang dilarang Allah swt).
Oleh karena itulah pengertian hijrah yang harus senantiasa ada dalam diri setiap muslim adalah pengertian hijrah Maknawi.
Adapun pengertian hijrah secara maknawi dapat disimpulkan :
1. Meninggalkan kejahilian menuju kepada nilai Islam
2. Meninggalkan kekafiran menuju iman kepada Allah swt
3. Meninggalkan kesyirikan menuju tauhid, mengesankan Allah
4. Meninggalkan kebatilan menuju yang hak, kebenaran Islam
5. Meninggalkan perbuatan maksiat menuju perbuatan ketaatan kepada Allah
6. Meninggalakan sesuatu yang haram menuju sesuatu yang halal
Meski demikian, dalam keadaan kondisi orang Islam berada dalam lingkungan yang mengaharuskannya melakukan hijrah fisik.
Konsideran dari hijrah fisik tersebut adalah :
1. Hijrah untuk keamanan bagi orang-orang yang lemah seperti hijrahnya kaum Muslimin
ke Habasyah.
2. Hijrah untuk mengungsi dan bersifat sementara
3. Hijrah karena panggilan Iman bagi seluruh kaum muslimin ke kota Madinah
B. Eksistensi Hijrah Dalam Al Qur’an
Hijrah memiliki eksistensi yang sangat mulia dan posisi yang sangat besar di dalam Al Qur’an. Al Qur’an memerintahkan hijrah dengan lafaz yang bermacam-macam kalimat yang berbeda-beda dan dan susunan kata yang variatif.
Dari bentuk –bentuk ayat yang dikemukakan di dalam Al Qur’an menunjukan bahwa Al Qur’an memiliki perhatian yang sangat besar terhadap hijrah serta kedudukan yang mulia.
1. Eksistensi Hijrah dalam Al Qur’anul Karim
a. Komparasi dengan Ibadah-Ibadah Penting lainya
1. Sabar
Diantara ibadah yang disebutkan berdekatan dengan Hijrah adalah sabar
Firman Allah dalam Surat An-Nahl 110 :
Dan Sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, Kemudian mereka berjihad dan sabar; Sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
2. Jihad
Firman Allah dalam Surat An-Anfal 74 :
Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka Itulah orang-orang yang benar-benar beriman. mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia.
3. Mengikuti Rasulullah
Untuk menunjukan perhatian yang besar terhadap hijrah dan keutamaan yang tinggi, Al Qur’an memberikan sifat kepada kaum Muhajirindan Anshor dengan orang-orang yang mengikuti Rasulullah. Allah berfirman di dalam At Taubah:117:
117. Sesungguhnya Allah Telah menerima Taubat nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, Kemudian Allah menerima Taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka,
Ar-Razi berkata, ”Sesungguhnya ketika Allah menyebut mereka bersama dengan Rasulullah (dalam satu ayat) menunjukan betapa mulianya kedudukan mereka di dalam agama ini
b. Menjadikanya Sunnah para Nabi dan sebagai sarana penetap Eksistensi orang –orang Mukmin di muka bumi
c. Hijrah sebagai Bentuk Penyelamatan Diri Menuju Allah swt
2. Tingkatan Hijrah dalam Iman
a. Kedekatan Hijrah dengan Iman dalam Al Qur’an
Firman Allah dalam Surat Al Baqarah 218 :
218. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
b. Hijrah adalah Fitnah atau Ujian Keimanan
c. Hijrah Merupakan Petunjuk akan Hakikat Iman
d. Iman adalah Dakwah para Rasul dan Hijrah merupakan Sunnah Mereka
3. Ungkapan-Ungkapan Al Qur’an sebagai Motivasi untuk Berhijrah fii Sabilillah
a. Sanjungan yang Allah berikan kepada orang yang Berhijrah dengan sifat-sifat yang Terpuji
Di dalam Al Qur’an, Allah swt banyak sekali memuji kaum Muhajirin serta menyematkan mereka dengan sifat-sifat yang terpuji dan istimewa. Diantara sifat-sifat istimewa yang Allah berikan kepada para Muhajirin adalah sebagai berikut :
1. Ikhlas
Ikhlas adalah pembersihan niat dalam beramal hanya untuk Allah swt. Ikhlas adalah nafas seluruh ibadah. Karena pentingnya ikhlas maka Allah memerintahkan kepada kita untuk selalu berpegang teguh kepadanya dalam ibadah-ibadah kita
Allah berfirman di dalam surat Al- an’am 162-163 :
162. Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam.
163. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan Aku
adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".
Dengan ikhlas ini dapat memberi kekuatan pada pelakunya untuk menanggung beban derita, serta membangkitkan kekuatan jiwa yang tidak mungkin dicapai kecuali orang-orang yang memiliki kekuatan akidah dan iman.
2. Sabar
Ar –Raghib berkata : Sabar adalah menahan diri dari apa yang dituntut oleh akal dan kondisi.
Allah berfirman di dalam surat An-Nahl 41-42 :
41. Dan orang-orang yang berhijrah Karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. dan Sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui,
42. (yaitu) orang-orang yang sabar dan Hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal.
Allah berjanji akan memberipahala tanpa batas kepada orang-orang yang bersabar .
Allah berfirman di dalam surat az-Zumar 10 :
10. Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu". orang-orang yang berbuat baik di dunia Ini memperoleh kebaikan. dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya Hanya orang-orang yang Bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.
b. Janji Allah bagi orang-orang yang Berhijrah
1. Diberikan keluasan Rezeki di dunia
2. Dihapuskan amal buruk mereka dan diampuni kesalahan-kesalahan mereka
3. Ditinggikan kedudukan dan derajat mereka disisi Allah swt
4. Kemenangan yang besar
c. Ancaman bagi orang-orang yang Berhijrah
1. Tidak ada pelindung dan pertolongan bagi mereka
2. Buruknya tempat kembali mereka
1. Makna Hijrah secara Bahasa:
Kata al- Hijrah adalah lawan dari kata al-Washol (sampai/tersambung). Ha-ja-ra-hu, yah-ju-ru-hu, hij-ran, dan hij,ra,nan yang artinya memutuskannya, mereka berdua yah-ta-ji-ran atau ya-ta-ha-ja-ran yaitu saling meninggalkan. Bentuk isim-nya adalah al-hij-rah.
Sedangkan pengertian kata ha-ja-rah dalam Al Qur’an memiliki 4 makna yaitu :
a. Perkataan Keji/ celaan
Firman Allah dalam Surat al Mu’minun : 67
Dengan menyombongkan diri terhadap Al Quran itu dan mengucapkan perkataan-perkataan keji
terhadapnya di waktu kamu bercakap-cakap di malam hari.
b. Berpindah dari suatu negeri ke negeri lain mencari keselamatan agama sebagai
manifestasi taat kepada Allah swt.
Firman Allah dalam Surat An-Nisa’ : 100
c. Berpisah ranjang dengan pasangan
Firman Allah dalam Surat An-Nisa’ : 34
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
d. Menyendiri dan ber-uzlah
Firman Allah dalam Surat Al-Muzzammil 10 :
Dan Bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.
Firman Allah dalam Surat Maryam 46 :
Berkata bapaknya: "Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, Hai Ibrahim? jika kamu tidak berhenti,
Maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah Aku buat waktu yang lama".
Dengan modal politik yang semakin membesar, Muhammad mestilah menunjukkan bahwa ia tidak sedang ingin menghancurkan peradaban, namun justru ingin membangun struktur sosial-kemasyarakatan yang makin maju dan beradab. Kebebasan beragama hendaklah dijamin, pluralisme sosial dalam struktur masyarakat terbuka juga sepatutnya dirawat. Tak ada paksaan dalam beragama, tapi pengkhianatan terhadap kemaslahatan bersama, seperti membocorkan rahasia pertahanan kota, atau berkolaborasi dengan musuh adalah tercela.
Hijrah Nabi Muhammad dan 70-an orang pendukungnya dari Mekah ke Madinah pada 23 September 622, bukanlah hijrah pertama. Ini adalah hijrah ketiga setelah terjadi dua hijrah sebelumnya, yaitu ke Abisinia (Ethiopia kini) tahun 615 dan ke Thaif yang tidak mendapat sambutan yang ramah. Yang unik dari hijrah ketiga ini adalah, ia bukanlah sekadar proses mengasingkan atau melarikan diri dari persoalan di tempat asal. Hijrah ke Madinah adalah proses transisi yang sudah direncanakan separuh matang dengan sebuah visi untuk membangun tatanan masyarakat baru yang memungkinkannya untuk berhasil.
Sungguh tidak gampang bagi Muhammad dan para pengikutnya untuk melakukan perjalanan 250 mil di bawah terik matahari yang menghabiskan masa tak kurang dari 9 hari dengan fasilitas transportasi masa itu. Hijrah ketiga ini diharapkan tidak lagi mengulang proses pelarian diri dari persoalan yang makin menghimpit kelompok minoritas tertindas para Muslim perdana. Untuk itu, visi dibangun, dan modal sosial-politik, sekalipun sangat kecil, mulai dirintis. Bai’at Aqabah pertama dan kedua sebagai janji setia beberapa delegasi masyarakat Madinah untuk menyokong misi Muhammad demi membangun masyarakat baru di Madinah adalah modal politik dasar.
Setelah yakin bahwa janji setia itu bakal tepenuhi, barulah Muhammad melakukan perjalanan rahasia melewati jalur nonkonvensional disertai sahabat karibnya, Abu Bakar. Sebelumnya, beberapa pengikut Nabi telah berangkat secara bergelombang. Di Madinah, masa-masa awal kehidupan sangat berat dirasakan Muhammad, apalagi oleh para pengikutnya yang berpisah dari sanak-keluarga dan harta-benda. Di Mekah, Muhammad belumlah siapa-siapa sekalipun sudah mendeklarasikan diri sebagai Nabi. Sampai di Madinah, reputasinya sebagai pemimpin lintas-suku dan kepentingan pun belum pula teruji. Modal politik yang tak seberapa itu harus betul-betul dirawat agar para pengikutnya tidak putus harapan, dan calon pengikut baru yakin untuk turut-serta dalam membangun masyarakat baru yang berkeadaban.
Konon, modal politik Muhammad sebagai pemimpin bertambah tebal setelah kemenangannya dalam memimpin perang Badar (tahun ke-2 H). Namun modal politik itu tidaklah konstan. Setelah kekalahan menyakitkan dalam perang Uhud, modal politik itu kembali menyusut. Barulah setelah kesuksesan mengorganisasi masyarakat Madinah untuk bertahan dari serbuan Mekah dengan sistem khandak (pertahanan parit), publik Madinah yakin bahwa ialah pempinpin yang mumpuni. Sejak saat itu, dan terutama sejak penaklukan kembali Mekah (tahun ke-8 H), Nabi mulai menyaksikan masuknya orang-orang baru ke dalam agama baru dan gagasan baru ini secara berduyun-duyun (afwaj).
Rupanya, masyarakat manapun tidak sudi mengikuti pemimpin hanya karena kasihan dan iba menyaksikan sosok panutannya selalu berkeluh-kesah, mengiba, merajuk, dan berharap belas kasih umatnya. Umat manapun tentu bangga dengan pemimpin yang jelas visinya tentang hendak kemana bahtera masyarakat akan mengarah, teguh dalam prinsip yang menjadi fondasi visi dasarnya, serta fleksibel dalam taktik dan strategi meraih tujuan. Inilah yang menjadi batu ujian bagi kepemimpinan Muhammad.
Dengan meminjam kategori intelektual Maroko, Abied al-Jabiri, setidaknya ada tiga persoalan mendasar yang dihadapi Muhammad dan para pengikutnya ketika sudah bermukim di Madinah. Pertama, tantangan dalam aspek akidah (kategori aqidah). Akidah di sini tidak hanya menyangkut keyakinan bahwa Tuhan Mahaesa dan Muhammad utusan-Nya, tapi lebih pada keyakinan bahwa penderitaan dan pengorbanan yang selama ini mereka rasakan kelak akan berbuah dan tidak berakhir sia-sia. Merawat mental dan harapan masyarakat yang ingin menjemput perubahan tidaklah mudah. Sedikit saja oleng aspek trust-nya (jika memang -trust -itu sudah terbangun), maka misi bisa terancam gagal atau malah mundur ke belakang.
Terlebih lagi, keyakinan yang dibawa Muhammad ke Madinah bukanlah barang baru yang unik dan superior dibandingkan keyakinan masyarakat Madinah yang sudah terekspos pada dua agama samawi yang mapan sebelumnya, yaitu Kristen dan Yudaisme. Muhammad dan para pengikutnya harus menunjukkan bahwa nilai-nilai sosial keagamaan yang mereka pertaruhkan jauh lebih agung dan mulia daripada yang sudah dianut sebelumnya. Alquran memberikan ilustrasi yang indah soal ini, khususnya untuk menjawab cibiran orang Yahudi terhadap keyakinan baru yang masih juga mengekor ke kiblat lama di Yerussalem itu, sebelum kiblat umat Islam berpindah ke Mekah. “Kebajikan atau kemuliaan”, kata Alquran, “bukanlah pada soal menghadap ke Timur ataupun ke Barat. Namun, kebajikan adalah….” “Kemanapun Engkau menghadapkan muka, Engkau akan tertuju ke wajah Tuhanmu jua,” kata ayat lain.
Selain itu, dengan modal politik yang semakin membesar, Muhammad pun mestilah menunjukkan bahwa ia tidak sedang ingin menghancurkan peradaban, namun justru ingin membangun struktur sosial-kemasyarakatan yang makin maju dan beradab. Kebebasan beragama hendaklah dijamin, pluralisme sosial dalam struktur masyarakat terbuka juga sepatutnya dirawat. Tak ada paksaan dalam beragama, tapi pengkhianatan terhadap kemaslahatan bersama, seperti membocorkan rahasia pertahanan kota, atau berkolaborasi dengan musuh adalah tercela.
Kedua, bagaimana mengukuhkan solidaritas sosial antara masyarakat baru yang selama ini terbelah dalam berbagai faksi yang tak punya cita-cita bersama? Inilah yang disebut al-Jabiri sebagai aspek -qabilah. -Tidak mudah bagi Muhammad untuk menyatukan mereka yang papa dari kalangan Muhajirin dengan kalangan penyambut dari pihak Anshar yang juga tidak kaya-raya. Anshar pun terbelah antara Aus, Khazraj, dan suku-suku kecil lainnya. Orang Yahudi berpuak-puak; ada Bani Nadhir, Bani Qainuqa, dan Bani Mustaliq. Bila mereka tidak dapat menangkap ke mana arah Muhammad sebagai -new comer -membawa mereka, tentulah tak mudah membangun solidaritas sosial yang kukuh.
Konflik sosial dan perpecahan selalu mengancam. Pada akhirnya Muhammad berpikir, andaipun kesatuan akidah tidak, atau mustahil terwujud, sebagaimana diterangkan Alquran, setidaknya tak ada tawuran sosial antara mereka. Pada titik inilah terletak signifikansi Piagam Madinah yang tak secuil pun menyentuh aspek keyakinan masing-masing pihak. Piagam ini lebih menitikberatkan aspek sosial-keamanan, dan karena itu dapatlah disebut sebagai tatanan sekular yang berisi pakta pertahanan bersama kota Madinah.
Dalam konteks masa itu pula, hampir mustahil bagi Muhammad untuk sampai kepada Islam yang berperadaban bila inklusivisme dan pluralisme sosial tidak terawat dengan baik. Terlalu banyak orang yang skeptis bahwa misi Muhammad akan berhasil membangun semacam -al-qabilah al-ruhiyyah -(kesatuan spiritual) bernama Islam sebagai penyeimbang sistem tribalisme yang begitu kuat di masa itu. Benarlah apa yang dikatakan sosiolog Robert N Bellah, bahwa sistem sosial-pilitik yang dibangunnya ketika itu terlalu maju untuk masanya. Yang juga tepat secara historis-sosiologis, sistem itu kembali rapuh dan digantikan-ulang oleh sistem kesukuan yang sedikit berubah bentuk: tidak lagi bersifat nomadik, tapi berubah dinastik sebagaimana di masa Umayyah dan Abbasiyah nantinya.
Namun yang tak kalah penting dari kedua aspek itu adalah aspek ketiga, yaitu aspek -ghanimah. -Secara literer, aspek ini berarti harta pampasan perang. Tapi sebagai kategori, ia bisa berarti aspek topangan ekonomi bagi masyarakat yang baru tumbuh dan ingin membangun sebuah peradaban. Akan mudahlah keyakinan masyarakat goyah dan kohesi sosial terganggu karena aspek gizi mereka tidak terpenuhi. Dalam telaah-telaah modern, penyergapan-penyergapan (sariyyah) yang dilakukan Muhammad ataupun ekspansi wilayah ke tempat-tempat tertentu lebih dibaca sebagai upaya untuk menopang kehidupan ekonomi Madinah yang absah untuk masa itu.
Sangat beresiko bila suatu masyarakat yang sudah disatukan dalam keyakinan tertentu, telah pula direkatkan berdasarkan ikatan sosial baru, untuk mampu bertahan dalam himpitan ekonomi yang menyengsarakan. Suatu masyarakat dari berbagai latar-belakang sosial-politik-budaya, normalnya akan mendelegasikan mandat mereka kepada orang yang mereka yakini bervisi benar dan mampu membawa mereka ke arah kehidupan yang lebih baik. Dengan begitulah mereka yakin bahwa pemimpinnya tidak sedang berkhotbah atau mengubar janji kampanye, tapi benar-benar memperhatikan hajat hidup mereka yang paling dasar.
Dalam konteks pasca-hijrah, Nabi pun membalas kepercayaan itu lewat mekanisme pembagian harta pampasan perang yang dirasa adil untuk masanya. Penyelewengan dan penggelapan terhadap harta pampasan perang sangat ketat sanksinya. Asketisme dalam memimpin umat yang makin makmur tetap dipertahankan. Konon, sebuah hadis meriwayatkan bahwa Muhammad tidak bersedia menyembahyangkan salah seorang sahabat yang gugur di medan tempur hanya karena ia kedapatan menggelapkan beberapa perhiasan yang didapat dari orang Yahudi. Jumlahnya tak seberapa, kurang dari dua dirham atau sekitar 85.000 rupiah.
Ketegasan semacam itu sangat diperlukan, terutama karena kepercayaan dan kesediaan masyarakat untuk berbuat dan berkorban sangat tergantung kepada pemimpin yang benar-benar mereka anggap tidak menyeleweng dari harapan mereka. Intinya, hijrah mengajarkan kita bahwa tanpa kemahiran dalam merawat cita-cita perubahan yang sudah diyakini dan didukung secara sosial oleh suatu masyarakat, seorang pemimpin dengan modal politik besar sekalipun akan gagal dan tak akan layak dilukis dengan tinta emas sejarah. Hijrahlah pemimpin, niscaya hijrah pula masyarakatmu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar